Sabtu, 06 September 2014

KUNANG-KUNANG ANTARA MITOS DAN KEAJAIBANNYA

(Sebuah Esai Apresiatif Atas Puisi Bintang Kartika Bertajuk Kunang-kunang)
Oleh Moh. Ghufron Cholid*

Kunang dengan kerlip cahayanya adalah anugerah terindah yang dimiliki malam namun kunang-kunang sejatinya ciptaan Tuhan bukan lahir dari sebuah mitos yang menyatakan berasal dari kuku mayat. Moh. Ghufron Cholid

KUNANG-KUNANG

gelap dan sendiri
di tapal batas hidup

Bintang Kartika, September 2014.

Ada yang menarik dari karya Bintang Kartika yang telah melahirkan kontroversi dalam menikamati dan memberikan penyematan bintang sebagai upanya apresiasi. Sudaryono Unja menyematkan 5 bintang, Imron Tohari 4 bintang, Muhammad Rois Rinaldi 3 bintang untuk puisi Bintang Kartika berjudul kunang-kunang. bagi saya penilaian yang berbeda adalah rahmah yang dengannya menunjukkan keberagaman pandangan sekaligus menegaskan tak semua orang harus manut seperti bebek hanya untuk dibilang memiliki nilai cita rasa dalam menikmati karya. 

Tiap pembaca memiliki hak yang sama untuk berkata jelek atau bagus beserta alasannya sebab puisi adalah rasa, oleh ianya rasa maka perbedaan rasa yang ditangkap tiap pembaca adalah hal yang sunnatullah. Berikut pandangan mas Sudaryono Unja (DAM) atas karya Bintang Kartika, dalam esai yang diberi tajuk "KUNANG-KUNANG" YANG MEMBUAT KEPALA BERKUNANG? DAM bertutur, Puisi yang dituis oleh Bintang Kartika, yang katanya iseng-iseng untuk mengisi kekosongan hari Jumat tampil sederhana. Justru kesederhanaan inilah yang dahi berkerut, kepala berkunang-kunang. Artinya, membaca sebuah puisi tidaklah mudah, tidak bisa disamakan membaca pernyataan, membaca berita, atau surat cinta. Persoalan kita menghadapi puisi pendek, dua larik tujuh kata (di sini digunakan larik, bukan kalimat atau bait) perlu kecermatan, berupaya meraih pemahaman dan pemaknaan sebelum memberikan justifiksi: menderas, terkena jebakan batman! 

Lain pembaca lain pula pandangan yang dipaparkan, pembaca memiliki kebebasan menafsirkan puisi yang dibacanya tanpa harus manut-manut pada pendapat orang lain, Adalah Mohsyahriel Daeng memiliki pandangan berbeda dengan DAM Puisi di atas sangat sederhana yang hanya berkisah tentang pengalaman si penyair yang melihat seekor kunang-kunang, menyendiri dan terpisah dari kelompoknya. Meskipun dalam gelapan, namun si kunang- kunang masih mampu menciptakan sekerdip cahayanya. Perjalanan menyendiri itu sebagai tapal batas akhir kehidupannya, hingga ia hinggap di dinding dan disambar oleh cecak atau serangga lainnya.

Rasa tak adil bila saya hanya mengutip pandangan orang lain tanpa menghadirkan pandangan saya atas puisi Bintang Kartika, 

gelap dan sendiri, demikian Bintang Kartika memulai pandangannya di larik pertama puisi yang ditulisnya. Gelap dan sendiri adalah dua hal yang bisa saja beriringan namun bisa pula berseberangan. Gelap adalah waktu di mana tak ada cahaya. Waktu ketika terang tak lagi menyapa, biasanya diidentikkan dengan malam, hal ini sangat tepat jika disandingkan dengan judul yang dihadirkan Bintang Kartika. Keindahan kunang-kunang akan semakin indah bila disaksikan ketika malam. 

gelap adalah saat-saat manusia bisa dikatakan sendiri tanpa ditemani manusia yang lain, karena memang ketika gelap yang paling cocok adalah tidur agar badan bisa sehat dan sakit akibat bekerja keras bisa hilang perlahan. Benarkah gelap dan sendiri selamanya bergandengan tangan? Ada benarnya namun tak seutuhnya benar. Gelap tak selalunya bisa diidentikkan dengan sendiri, jika gelap yang dimaksud adalah ketika kita mati dan menjadikan kuburan sebagai rumah, tanpa ditemani sanak-saudara, barangkali bisa kita sepakati kalau gelap dan sendiri satu kesatuan yang saling melengkapi namun tak bisa dibenarkan seratus persen, sebab pada hakekatnya tak ada manusia yang benarbenar sendiri, selalu ada Tuhan yang menemani. 

Bahkan dalam kuburanpun manusia tak tinggal seorang diri, ada dua malaikat mukar dan nakir yang setia menemani seraya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab,jika manusia mengimani adanya Tuhan dan adanya dua malaikat yang akan menanyai ketika berada dalam kubur, tentu takkan pernah merasa sendiri. Jika manusia berada dalam tingkatan ihsan, merasa sendiri saya kira adalah tindakan yang konyol, bagi manusia yang memiliki agama. 

gelap dan sendiri, bisa dimaklumi jika kita merunut pada keadaan penyair dan menikmati keindahan kunang-kunang karena mungkin memang sedang menikmati sendirian tanpa ditemani orang lain. Namun jika pandangan ini ditarik dalam ranah spritual tentu pandangan tersebut adalah tindakan yang sangat gegabah. 

Jika gelap dan sendiri hendak melukiskan keadaan manusia dalam kubur, barangkali bisa kita terima namun tak seratus persen, sebab pada hakekatnya manusia akan membawa amalnya masing-masing dan amal yang tidak terputus ada tiga macam yakni 1) Shadaqah Jariyah 2. Ilmu yang bermanfaat 3. Anak yang saleh/saleha yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. 

Jika gelap dan sendiri yang dimaksud adalah terpisahnya manusia dari keluarganya ketika mati, saya mengamini. Namun jika dijadikan alasan pembenaran bahwa di kuburan tak ada yang menemani selain manusia, saya tidak sepakat, jika memang manusia tersebut adalah manusia yang beragama khususnya yang beragama Islam. 

di tapal batas kehidupan, Bintang mempertegas pandangannya bahwa puisi kunang-kunang sejatinya ingin membahas ada peristiwa yang pasti dilalui tiap manusia yakni kematian. Kematian yang membuat manusia terpisah dengan manusia lainnya, jika ini alasan kunang-kunang diperkenalkan saya menyepakati dengan syarat hanya berlaku antara manusia yang hidup dengan yang mati. 

Betapapun manusia mengucapkan pada kekasihnya akan sehidup semati namun perkara hidup dan mati sudah ditentukan Allah dan manusia perasaannya mudah berubah, kadang tergoda pada hal-hal yang baru sehingga tak bisa menjamin ucapan itu mengandung kebenaran seratus persen oleh karena kebenaran haqiqi hanyalah milik Allah. 

Ternyata kunang-kunang tak hanya memiliki keindahan lewat kedip cahayanya namun punya mitos yakni dikenal sebagai kuku orang mati atau jelmaan iblis. Meskipun bentuknya sudah jelas sebagai serangga, namun kedipan lampu hewan ini masih sering jadi pertanyaan dan perdebatan di kalangan peneliti.

Jika kita berpedoman pada firman Allah, “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama Yang Paling Baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan dibumi dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasyr, 59:24)
Maka bisa kita katakan dengan tegas bahwa kunang-kunang adalah ciptaan Allah, bukan mitos yang tercipta dari kuku orang mati atau jelmaan iblis.
Allah selalu menciptkan makhluknya dengan sempurna dan memiliki daya pikat, demikian dengan kunang-kunang, sebuah sain mengungkapkan (http://tunikata.wordpress.com/2009/12/13/rahasia-allahpenciptaan-kunang-kunang-dan-makhluk-bercahaya-lainnya)  kunang-kunang mampu menghasilkan hampir seratus persen cahaya dari energi yang ada. Ini dikarenakan disain sempurna pada sistem penghasil cahaya yang dimilikinya. Tubuhnya berisi zat kimia khusus bernama lusiferin, dan enzim yang disebut lusiferase. Untuk menghasilkan cahaya, dua zat kimia ini bercampur, dan percampuran ini menghasilkan energi dalam bentuk cahaya. Molekul kompleks ini telah didisain secara khusus untuk memancarkan cahaya. 

Penempatan setiap atom yang membentuk molekul tersebut telah ditentukan sesuai dengan tujuan ini. Tidak ada keraguan bahwa disain biokimia ini bukanlah sebuah kebetulan. Ia sengaja diciptakan secara khusus. Sebagaimana Allah telah memberi semua makhluk hidup ciri mereka masing-masing, Dia juga telah mengajarkan kunang-kunang cara membuat cahaya.

Tapi, untuk apakah kunang-kunang membuat cahaya melalui teknologi yang sedemikian maju. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini, kita harus mengamati lebih dekat sekawanan kunang-kunang. Sekelompok kunang-kunang dalam jumlah besar, hingga ratusan ribu, di malam hari memunculkan pemandangan yang membuat kita seolah sedang berjalan di bawah bintang-bintang.

Cahaya ini sangatlah penting bagi kunang-kunang sebagai alat komunikasi. Sepanjang sejarah, manusia telah menggunakan berbagai sarana untuk berkomunikasi. Salah satunya adalah sandi morse, yang terdiri atas kombinasi sinyal panjang dan pendek, dan dipakai pada telegram. Kunang-kunang menggunakan sinyal cahaya untuk berkomunikasi, cara yang menyerupai sandi morse.

Kunang-kunang jantan menyalakan dan memadamkan cahayanya untuk mengirim pesan kepada sang betina. Pesan ini berisi kode tertentu. Dan kunang-kunang betina menggunakan kode yang sama untuk mengirim pesan balasan kepada sang jantan. Sebagai hasil dari pesan timbal-balik ini, sang jantan dan betina mendekat satu sama lain.

Sejak saat ia dilahirkan, tiap kunang-kunang mengetahui bagaimana berkirim pesan dengan cara ini, dan bagaimana memahami pesan yang dikirim oleh yang lain. Singkatnya, masing-masing dari ribuan kunang-kunang yang kita lihat bersama di kegelapan malam adalah sebuah keajaiban penciptaan. Pencipta sistem yang luar biasa ini adalah Allah, Pencipta semua makhluk hidup.

Kesimpulan
Paling tidak puisi Bintang Kartika ingin mengungkapkan bahwa gelap dan sendiri merupakan dua hal yang mengintimi manusia baik dalam hidup maupun dalam kematiaannya. Gelap dan sendiri bisa jadi tapal batas kehidupan, artinya orang yang hidup dan orang yang mati. Namun gelap dan sendiri tidak bisa kita amini sepenuhnya sebab pada hakekatnya Allah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan yakni ada laki-laki dan perempuan, tua-muda, siang-malam, gelap-terang, sunyi dan ramai. 

Jika yang dimaksud gelap dan sendiri adalah pembatas antara manusia yang hidup dan yang mati barangkali ada benarnya. Namun mengamininya sebagai kebenaran yang tunggal adalah pandangan yang saya rasa terlalu gegabah sebab pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang bertuhan dan Allah senantiasa bersama hamba-hambaNya. 

Apapun itu, Bintang Kartika telah mengungkapkan kenangannya bersama kunang-kunang dan kita sebagai pembaca diberi kebebasan dalam menafsirkan, oleh sebab pandangan ini termasuk wilayah sensitif yang jika tidak disikapi dengan bijak akan muncul anggapan bahwa sejatinya gelap dan sendiri adalah dua hal yang dimiliki manusia dalam menempuh hidupnya maka dengan menginsafi hidup tak selamanya gelap dan sendiri, pada hakekatnya kita sedang berlatih menuju manusia yang lebih bijaksana dengan menepikan anggapan bahwa gelap dan sendiri milik manusia seutuhnya. 

Bahan Bacaan 
1. Sudaryono Unja : apreasi puisi Kunang-kunang Yang Membuat Kepala Berkunang". Group puisi. 2,7. 2014
2. Mohsyahrier Daeng : apresiasi perjalanan kunang-kunang, Group Puisi 2,7. 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar