Senin, 15 September 2014

PESANTREN DAN TRADISI BERSASTRA.

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Pesantren dalam kiprahnya tak hanya memiliki peranan penting dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, namun juga ikut mewarnai khazanah sastra.

Sejatinya pesantren yang dianggap kolot dan terbelakang tak selalunya bisa diamini. Pesantren begitu akrab dengan khazanah sastra, di samping tetap menjadi penjaga gawang moral.

Di tengah hiruk pikuk tentang kerinduan seorang vigur yang menjadi suri tauladan maka peranan kiai di pesantren menjadi begitu vital sebab ianya bisa menjadi cermin berkaca santri-santrinya.

Al-Qur'an mukjizat terbesar nabi yang tiada banding sampai luluh lantah alam semesta tetap menjadi rujukan kehidupan, rujukan kesusastraan tertinggi, oleh sebab ianya bukan bikinan manusia.

Islam sangat memperhatikan status penyair meski di negara Indonesia tak pernah dicantumkan dalam KTP. Mengingat begitu vitalnya peran penyair, Allah menyediakan surat khusus buat para penyair asy-syuara (para penyair).

Lalu apa kaitannya pesantren dengan khazanah sastra? Bukankah pesantren hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan yang hanya menangani keagamaan?
Pesantren sebagai sentral lembaga pendidikan agama maka di samping memperhatikan pendidikan kerohaniaan, pesantren juga menjadi pusat kajian tentang ilmu-ilmu klasik termasuk ilmu sastra.

Nahwu dan Shorrof menjadi semacam kunci membuka beragam ilmu pengetahuan, mengkaji permasalahan hidup dalam perspektif agama. Tak hanya itu, pesantren tak pernah sepi dalam menggemakan khazanah sastra, baik dalam diba'i yang memuat kisah-kisah nabi yang menggetarkan maupun dalam nadham yang sering dijadikan lagu, sebelum pelajaran dimulai atau dalam kegiatan menambah ilmu pengetahuan.

Man lam yaktaqid lam yan tafik, begitu bunyi sebuah nadham imriti yang artinya siapa yang tidak yakin takkan memperoleh manfaat.

Pelajaran balaghah yang diajarkan di pesantren sejatinya untuk memperhalus bahasa ataupun mengasah kepekaan jiwa.

GAUNG SASTRA PESANTREN

Puncak sastra tertinggi sepanjang abad yang tiada tandingannya adalah al-Qur'an oleh ianya bukan buatan manusia melainkan ciptaan Allah Yang Maha Esa, yang di dalamnya mengandung pelajaran hidup dan kehidupan.

Al-Qur'an adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa, lalu siapakah orang yang muttaqien itu? Paling tidak surat al-baqarah ayat 2-3 telah menjelaskan al-Qur'an dengan orang yang muttaqien.

Menginsafi al-Qur'an sebagai puncak tertinggi kesustraan yang tiada banding maka mempelajari dan mengamalkan isinya adalah sesuatu yang akan membawa keberkahan dalam hidup.

Puisi pendek pun telah dicontohkan dalam al-qur'an dengan begitu dahsyat dan menggetarkan, hanya terdiri atas 3 ayat yakni terdapat dalam surat al-kautsar. Lalu apa kaitannya dengan gaung sastra pesantren?

Jamal D Rahman dalam sebuah tulisan berjudul Sastra, Pesantren dan Radikalisme Islam menyatakan sastra pesantren paling tidak memiliki tiga pengertian yakni 1) Sastra yang hidup di pesantren 2) Sastra yang ditulis oleh orang-orang (kiai, santri, alumni) pesantren 3) Sastra bertemakan pesantren, seperti Umi Kulsum, Djamil Suherman, Geni Jora, Abidah el-Khaliqiey, dan Maria & Maryam Parahdiba.

Jika mengamati yang diungkap oleh Jamal D Rahman setidaknya menunjukkan bukti bahwa pesantren tidak buta terhadap khazanah sastra, puisi abu nawas, imam syafi'e dan karya sastra ulama salafussaleh sangat akrab di kalangan pesantren, baik disenandungkan perorangan maupun berjamaah.

Dari rahim pesantren lahirlah Gus Mus, Jamal D Rahman, Kiai Faizi Guluk-guluk, Moh. Nurul Kamil, A'yat Khalili, Ahmad Kekal Hamdani, Raedu Basha dan sederet penulis yang tak bisa saya sebut satu persatu.

Berikut saya hadirkan satu puisi gus mus yang dimuat di album sajak-sajak a. mustofa bisri halaman, 363 berjudul,

DOA

Kami tak berani menatap langit
Bumi yang terbaring
Terus mengerang
Menghisap airmata kami
(Tapi tak menghilangkan, sayang
bahkan menambah dahaga)

Ada sebuah pengakuan tentang ketakberdayaan seorang manusia yang disampaikan pada Tuhannya. Ada runduk diri yang khusyuk dalam menginsafi hidup, seakan ingin mengabarkan pada tiap pribadi, betapa ketakberdayaan yang dimiliki manusia mampu melahirkan sebuah pengakuan akan keserbamahaan Tuhan, oleh sebab itu doa menjadi jalan menyampaikan keluh kesah yang mendera manusia dengan harapan duka tak terlalu mesra menyalami jiwa.

Dengan demikian khazanah sastra pesantren dapat memberi bentuk bagi seseorang dalam menjalani hidup, agar senantiasa rukuk. Mengamalkan segala upaya agar tak tergolong dalam penyair yang sesat. Lebih memilih menjadi golongan yang mengantarkan jiwa semakin dekat pada Tuhannya.


Madura, 15 September 2014
*Khadimul qalam fillah, menetap di Madura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar