Selasa, 05 Agustus 2014

MENGINTIMI DUNIA SPRITUAL DALAM PERCAKAPAN KE-0

Oleh Moh. Ghufron Cholid*

Hidup memang bukan puisi
Tetapi menjadikan hidup sebagai puisi
Hari-hari yang telah berlari
Bisa disaksikan kembali
Moh. Ghufron Cholid

Narudin adalah sosok pemuda yang menyukai puisi, cerpen juga menyukai menerjemahkan karya asing ke dalam bahasa Indonesia, demikian saya mengamati proses kreatifnya mesti tak pernah bertatap secara langsung hanya bersahabat lewat jejaring sosial bernama facebook. Demikian pengenalan secara singkat terhadap sosok yang karya puisinya akan menjadi bahan bahasan.

Rasanya, kurang adil juga jika terlalu membahas sosok tanpa membahas karya sebab sejatinya yang sedang saya hadapi bukan Narudin namun karyanya, profil singkat hanyalah sebagai pengantar awal sebelum memasuki karya yang akan saya bahas.

Betapa penyair begitu mendapat tempat istimewa dalam pandangan agama Islam. Dalam al-Qur'an penyair mendapatkan pembahasan secara khusus dalam surat ke 26 juz ke 19 bernama asy-syuara (para penyair). Namun kendati demikian menjadi penyair di negeri Indonesia bukanlah merupakan suatu profesi khusus oleh sebab itulah tak diletakkan dalam KTP.

Kepedulian yang istimewa ini tidak lantas membuat penyair besar kepala, meski dalam al-Qur'an status penyair begitu diakui ada garis besar yang perlu direnungkan bersama, penyair yang istimewa dalam pandangan Islam adalah orang yang beriman, beramal shaleh dan banyak menyebut asma Allah dan menolong agar terhindar dari kedhaliman.

Paling tidak adanya surat asy-syuara menjadi bukti bahwa umat nabi Muhammad adalah para ahli sastra oleh sebab itulah al-Qur'an menjadi mukjizat terbesar, yang keindahan dan kebenarannya tak tertandingi sepanjang masa.

Jadi al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah kitab sastra yang maha dahsyat yang tak bisa ditandingi oleh seluruh ahli sastra sepanjang zaman oleh karena al-Qur'an bukan buatan manusia.

"Sesungguhnya kami turunkan al-Qur'an dan kami pula yang akan menjaganya" maka bisa dipastikan al-Qur'an bukan karya manusia dan keaslian al-Qur'an akan senantiasa terjaga.

Lalu, apa hubungannya dengan pembahasan atas karya Narudin, apakah pemaparan ini bermaksud untuk mendukung kerja kreatif yang dilakukan Narudin atau malah sebaliknya, mengkritisi karya penyair bernama Narudin dengan karya puisinya yang telah menjadi konsumsi publik? Untuk menjawabnya alangkah lebih bijak jika kita membaca karya Narudin terlebih dahulu,

PERCAKAPAN KE-0

Di ruangan ini, aku menunggu
diriku yang belum kembali;
di ruang itu, kau menggu
dirimu yang telah kembali
Di waktu ini, aku menghitung
waktu sebelum lahir dan setelah mati;
di waktu itu, kau menghitung
dirimu, aku diriku,
adakah siksa yang abadi...

Paling tidak percakapan ke-0 merupakan puisi renungan yang dipetik dari surat al-'ashru (WAKTU), sebuah puisi yang membuat kita merenungi waktu-waktu yang telah berlari, sebuah puisi yang menjadi timbangan atau hitungan atas perbuatan kita,

"Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling bernasehat dalam kebenaran dan saling bernasehat dalam kesabaran."

Narudin lewat puisi percakapan ke-0, paling tidak telah mengajak dirinya dan kita sebagai pembaca untuk senantiasa bermuhasabah, menimbang-nimbang segala ucap dan tindakan yang telah lama kita geluti, dipihak manakah kita tegak berdiri, selalu condong dalam berprilaku baik atau malah sebaliknya.

Dalam percakapan ke-0, bisa dikatakan Narudin keluar dari barisan penyair yang melakukan perbuatan sia-sia, penyair yang hanya diikuti orang-orang dungu, keluar dari barisan penyair yang menyianyiakan karunia. Apakah terhindar dari golongan mereka berkata namun tak melakukan? Semua terpulang pada diri masing-masing, paling tidak Narudin telah mengamalkan poin bernasehat dalam kebenaran seperti yang tertuang dalam surat al-'ashru.

Narudin sedang melakukan pergulatan batin lewat puisi percakapan ke-0, Narudin seakan mulai mengintimi dunia spritual untuk menjadi pribadi yang lebih bermakna.

Narudin sedang melakukan proses pencarian jati diri untuk lebih mengenal siapakah sosok yang lebih sering bermukim dalam hatinya.

Siapa yang berjalan di atas jalannya maka sampailah ia, demikian mutiara hikmah arab yang kurang lebih terjemahan bebasnya seperti yang saya paparkan.

Pencarian membutuhkan perjuangan dan keteguhan hati. Tidak selamanya pencarian seirama harapan oleh ianya kesabaran sangat dibutuhkan seperti halnya untuk mendapatkan mutiara di tengah lautan dibutuhkan perjuangan dan doa untuk sampai pada tujuan. Untuk bisa menikmati manis perjuangan pengorbanan dibutuhkan. Pergulatan batin penyair telah ia sampaikan dalam percakapan ke-0.

dirimu, aku di diriku,
adakah siksa yang abadi...

Ada semacam keraguan yang dipupuk oleh Narudin, adakah siksa yang abadi, pertanyaan semacam ini adalah naluri kemanusiaannya yang berbicara, yang bisa jadi lahir dari sebuah pengamatan, segala sesuatu akan binasa kecuali Allah maka jika ayat ini yang diyakini siksa (duka) tak ada yang abadi.


*Pendiri Dengan Puisi Kutebar Cinta dan Pengelola Taman Sastra Nusantra di FB bermukim di Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar